Kamis, 09 Oktober 2014

"Kelirumologi" soal Uang


Saya meminjam istilah salah kaprah-nya Jaya Suprana; “kelirumologi” bukan tentang logika pembentukan frasa “uang”-nya yang keliru, tetapi dalam hal ini tentang mindset umum dalam masyarakat yang keliru tentang uang. Mengapa mindset yang keliru ini perlu dibongkar? Karena kekeliruan memahami konsep tentang uang ini bisa menjadi semacam mental block yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang sehingga sering mengakibatkan kesalahan dalam mengambil keputusan. Akibatnya, kita menjadi terhambat untuk maju, tumbuh dan berkembang.

1.    Mindset ke-1, uang tidak dapat memenuhi semua keinginan.
Orang tua kita menasehatkan ini dengan tujuan agar kita tidak menuhankan uang, tidak mengukur segala sesuatunya dengan uang. Sayangnya, oleh kebanyakan orang nasehat ini dijadikan pembenaran untuk tidak berprestasi dan hidup dengan cara yang biasa-biasa saja, tanpa cita-cita mulia. Untuk apa nguber uang, toh tidak bisa membeli segala-galanya. Ya, tetapi faktanya dengan memiliki uang Anda bisa mendapatkan apa yang ingin Anda beli, membantu lebih banyak orang miskin, yayasan, atau saudara yang membutuhkan, menyekolahkan anak di sekolah terbaik, memberi kehidupan yang layak dan berkualitas bagi anak dan istri serta membahagiakan orang tua Anda. Adakah hidup yang lebih bermakna dari hidup mulia seperti itu?

2.    Mindset ke-2, saya terlalu muda untuk serius memikirkan uang.
“Nanti saja” adalah bentuk penundaan yang sangat berbahaya. Kita justru membuang waktu dengan memiliki mindset ini. Ketika SD kita berharap dan berangan-angan, “Nanti kalau SMP akan belajar lebih giat.” Ketika sudah SMP, ternyata biasa-biasa saja. “Mungkin nanti SMA.” Ketika SMA juga sama, lalu berlanjut kuliah dan kita tetap berangan-angan, “Nanti saja”. Kalau sudah bekerja, kalau sudah beristri, kalau sudah punya anak, dan seterusnya sampai akhirnya ketika pensiun tiba Anda baru tersadar. Apalagi ketika badan sudah mulai lemah dan sakit-sakitan. Yang tersisa hanya penyesalan. Mengapa dulu tidak melakukan ini dan itu. Mengutip Mark Twain, “Twenty years from now you will be more disappointed by the things you didn’t do than by the ones you did do.”

Sekaranglah saatnya bagi Anda untuk melakukan apa saja, termasuk dalam hal uang di usia muda. Sebagai ilustrasi, jika Anda ingin pensiun dengan tabungan Rp 1 miliar di usia 55 tahun, maka Anda hanya perlu menyisihkan Rp 750.000,- per bulan. Hasil itu bisa Anda dapatkan kalau Anda mulai menabung di usia 25 tahun. Akan tetapi kalau Anda menunda baru mulai menabung pada usia 40 tahun, maka Anda harus menyisihkan Rp 2,5 juta  per bulan (asumsi suku bunga 14% per tahun). “Apakah saya terlambat?” Belum, kalau Anda memulainya sekarang! Ya, sekarang!

3.    Mindset ke-3, jika punya uang lebih banyak, punya kesempatan lebih besar untuk menabung.
Tidak juga! Menabung tidak bergantung pada berapa banyak uang Anda, tetapi pada tujuan Anda. Misalnya, untuk pendidikan anak, menikah, membeli rumah atau mempersiapkan hal-hal lain yang tidak terhindarkan di masa mendatang. Jika Anda menabung setelah penghasilan Anda besar, saya khawatir simpanan Anda akan tetap kosong. Karena kecenderungannya, semakin besar penghasilan Anda, semakin tinggi pengeluaran Anda. Oleh karena itu, berapapun penghasilan Anda, berusahalah untuk menyisihkannya. Caranya? Pay yourself first!


Ilustrasi berikut akan membantu Anda:
Ada dua keluarga, keluarga A dan B, masing-masing bekerja di tempat yang sama, memiliki jabatan dan penghasilan yang sama. 20  tahun mendatang, ternyata keluarga A menjadi keluarga kaya, dan sebaliknya  keluarga B akan menjadi keluarga miskin. Apa pasal? Keluarga A bisa menjadi kaya karena sejak awal menyimpan sebagian penghasilan yang dimilikinya lebih dulu, baru membelanjakan sisanya. Jadi secara ketat keluarga A mencukupkan dana yang sudah mereka alokasikan untuk kebutuhan  belanja setiap bulan. Keluarga B membelanjakan penghasilannya terlebih dahulu, baru menabung sisanya. Apakah ada sisa? Seringnya tentu tidak bersisa. Jika misalnya ada, lalu menaruhnya di bank, apakah akan aman dari kebutuhan lainnya? Hasilnya, 20 tahun kemudian, keluarga B miskin karena tidak memiliki tabungan, sementara keluarga A kaya karena memiliki tabungan yang cukup besar.

4.    Mindset ke-4, mencari uang dengan bekerja (baca: menjadi pegawai)
Bekerja hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan uang. Akan tetapi, di sebagian masyarakat kita sekarang, bekerja jenis ini sepertinya masih dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencari uang. “Kerja dimana?” adalah pertanyaan standar setiap kita bertemu kenalan. Ada teman saya yang kesulitan menjawab karena berprofesi sebagai pemusik. Teman saya yang lain pernah ditolak melamar seorang gadis karena setelah kuliah di universitas ternama hanya buka toko. Sekarang ini, orang-orang yang menekuni bakatnya sebagai profesi justru mempunyai penghasilan yang sangat besar, misalnya pemusik, olahragawan, pelaku industri kreatif, pemberi jasa dan tenaga pemasar.

Status pekerja juga terasa hebat di masyarakat. Sikap ini bagaikan penyakit. Saya punya tetangga yang bekerja sebagai tenaga sukarela di Pemda sampai puluhan tahun dengan harapan bisa diangkat menjadi pegawai negeri. Teman saya merasa hebat bekerja sebagai dosen meskipun pendapatannya “pas-pasan”. Suatu kali dia pernah bertanya kepada tukang sate yang mangkal dekat rumahnya dan betapa kaget dan malunya ketika tahu rata-rata pendapatan tukang sate itu sekitar Rp 300.000,- per hari, bahkan di akhir pekan bisa mencapai Rp 500.000,- Artinya, dia bisa punya penghasilan sekitar Rp 10 jutaan per bulan.

Meskipun kita sekarang menyaksikan mulai muncul pengusaha-pengusaha muda dengan omset miliaran rupiah per bulan, jumlahnya masih sangat sedikit. Karena di pikiran anak muda sekarang adalah sekolah kemudian mencari kerja, sehingga tidak heran jika angka pengangguran terdidik terus membesar. Sebuah negara akan maju dan makmur kalau banyak anak mudanya berprofesi sebagai pengusaha.

5.    Mindset ke-5, tidak perlu khawatir akan hari tua, anak saya pasti mau menanggung.
Setiap anak pasti ingin merawat atau membahagiakan orang tuanya. Akan tetapi kenyataan membuktikan betapa susahnya itu terjadi. Karena sudah punya keluarga sendiri, kesibukan sendiri dan masalah sendiri, anakpun tanpa sadar menjadi kurang perhatian, kurang waktu, kurang uang. Seharusnya kita sendirilah yang mempersiapkan diri untuk bisa tetap mandiri sampai tua.

6.    Mindset ke-6, untuk kaya harus berpendidikan tinggi.
Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Survey di Amerika dan juga terjadi di beberapa negara lain di dunia menyebutkan bahwa para pemilik perusahaan besar justru mereka yang sekolahnya gagal. Kenapa? Mungkin karena merasa tidak pintar, mereka berusaha lebih keras, atau karena mereka lebih dini masuk ke sekolah kehidupan. Hasil survey tersebut menemukan bahwa para pengusaha sukses itu justr kebanyakan mereka yang sekolahnya tidak pintar atau gagal. Sementara mereka yang sekolahnya pintar menjadi karyawan di perusahaan  tersebut, atau menjadi dosen dan peneliti.

Coba Anda cari di Indonesia, siapa konglomerat yang menguasai sebagian besar ekonomi nasional? Betul, mereka adalah orang-orang yang tidak bersekolah tinggi. Sebut saja Liem Siu Liong, Eka Tjipta, Mochtar Riady, pemilik Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, Orang Tua Group, dan lain-lain.

7.    Mindset ke-7, untuk menghasilkan uang dibutuhkan modal berupa uang.
Sikap inilah yang menghambat banyak orang untuk terjun ke dunia bisnis. “Tidak punya modal” menjadi momok bagi mereka yang sudah merasa nyaman sebagai pekerja meskipun pada kenyatannya sebagai pekerjapun mereka selalu merasa tidak nyaman karena terus kekurangan. Untuk menghasilkan uang yang dibutuhkan adalah sebuah “ide” atau konsep. Kalau untuk mencari uang Anda lebih dulu memikirkan modal besar baru ide, berarti Anda telat! Selain itu, kalau modalnya ada, biasanya akan langsung habis. Tidak sedikit anak yang bangkrut setelah dimodali orangtuanya.

8.    Mindset ke-8, utang adalah penyakit yang harus dihindari.

Adalah benar jika Anda menghindari utang untuk tujuan konsumtif, tetapi jika Anda berutang untuk kebutuhan produktif dengan pertimbangan yang matang, ketakutan Anda berutang adalah ketakutan Anda untuk maju pesat.

Faktanya, semakin besar perusahaan atau negara, semakin besar pula utangnya. Siapakah pengutang terbesar? Betul, perusahaan-perusahaan raksasa! Negara pengutang terbesar adalah negara yang sangat kuat ekonominya, yaitu Amerika dan Jepang. Jadi, beranilah berutang secara cerdas dan bijak.

9.    Mindset ke-9, orang sukses hampir tidak pernah melakukan kesalahan
Orang sukses justru paling banyak melakukan kesalahan, hanya mereka tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Mengapa justru banyak melakukan kesalahan? Karena para pemenang sejati selalu berfikir positif dan ingin meningkatkan target dan mencoba hal baru. Kesalahan adalah cara belajar untuk meningkatkan capaian yang lebih tinggi, lebih efektif, lebih efisien.

Apakah Anda tahu jika Thomas Alfa Edison telah memiliki lebih dari 1000 hak cipta akan penemuannya ? Penemu terbesar Amerika ini memiliki pandangan hidup yang positif luar biasa yang meningkatkan kemampuannya sebagai penemu. Bila orang lain mungkin telah berkecil hati dan putus asa setelah gagal ribuan kali dalam percobaan untuk mengembangkan lampu listrik, Edison dengan sederhana memandang setiap percobaan yang gagal sebagai penyisihan solusi yang tidak berhasil, dengan demikian membawa dia jauh lebih dekat dengan solusi yang sukses. Ketika itu sebuah surat kabar memberitakan di tajuk utamanya bahwa Edison telah gagal 10.000 kali dan akhirnya menemukan lampu pijar. Edison langsung mendatangi kantor berita tersebut dan meminta untuk mengganti headline surat kabar itu. Keesokan harinya sebuah tajuk utama menuliskan, Edison menemukan 10.000 cara yang tidak dibutuhkan untuk menciptakan lampu pijar. Anda bisa merasakan bedanya bukan?

10.  Mindset ke-10, menabung di bank adalah yang terbaik.
Dari sisi perencana keuangan, jumlah uang dalam tabungan hanya disarankan untuk menutupi biaya hidup dan biaya emergency (idealnya 3-6 kali pengeluaran rutin bulanan), sisanya disarankan untuk diinvestasikan dalam instrumen yang dapat memberikan imbal hasil lebih tinggi. Dengan cara yang demikian, tingkat pertumbuhan aset akan semakin cepat dibandingkan seluruh uang yang dimiliki di simpan dalam rekening tabungan. Apalagi jika Anda ingin menabung dalam jangka waktu yang panjang.

Kenapa demikian? Dengan menabung di bank, pada saat tertentu nilai uang Anda justru akan menurun. Anda memang mendapatkan bunga, tetapi kecil sekali. Pernahkah Anda tanyakan ke bank berapa bunga tabungan Anda? Dan jika dipotong  biaya administrasi, pajak, kemudian dihitung inflasi, sebenarnya nilai uang Anda susut sekitar 1-2% setiap tahun. Bagaimana dengan deposito? Bunga deposito memang lebih tinggi sekitar 7-10%. Akan tetapi jika dihitung dalam jangka panjang, deposito juga bukan pilihan terbaik.

Sebenarnya jika Anda ingin menabung dalam jangka panjang, investasi adalah pilihan yang tepat. Hasilnya bisa sangat besar. Meskipun demikian, selain memerlukan ilmu dan perhatian yang serius, investasi juga mengandung risiko, meskipun dalam jangka panjang sangat menguntungkan dan bisa dikelola. Jika tidak ingin repot, Anda dapat menyerahkan pengelolaan tabungan Anda pada perusahaan yang professional, hasilnyapun akan besar. Salah satunya, belilah polis asuransi karena lebih menguntungkan. Kenapa? Baca di artikel  saya berikutnya ya, Anda akan mengerti maksud saya.

(yap/adapted from Wira Arjuna’s National bestseller and various sources/photo credit: google)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar