Saya meminjam istilah salah
kaprah-nya Jaya Suprana; “kelirumologi” bukan tentang logika pembentukan frasa
“uang”-nya yang keliru, tetapi dalam hal ini tentang mindset umum
dalam masyarakat yang keliru tentang uang. Mengapa mindset yang
keliru ini perlu dibongkar? Karena kekeliruan memahami konsep tentang uang ini
bisa menjadi semacam mental block yang akan mempengaruhi sikap
dan perilaku seseorang sehingga sering mengakibatkan kesalahan dalam mengambil
keputusan. Akibatnya, kita menjadi terhambat untuk maju, tumbuh dan berkembang.
1. Mindset ke-1,
uang tidak dapat memenuhi semua keinginan.
Orang tua kita menasehatkan ini
dengan tujuan agar kita tidak menuhankan uang, tidak mengukur segala sesuatunya
dengan uang. Sayangnya, oleh kebanyakan orang nasehat ini dijadikan pembenaran
untuk tidak berprestasi dan hidup dengan cara yang biasa-biasa saja, tanpa
cita-cita mulia. Untuk apa nguber uang, toh tidak bisa membeli
segala-galanya. Ya, tetapi faktanya dengan memiliki uang Anda bisa mendapatkan
apa yang ingin Anda beli, membantu lebih banyak orang miskin, yayasan, atau
saudara yang membutuhkan, menyekolahkan anak di sekolah terbaik, memberi
kehidupan yang layak dan berkualitas bagi anak dan istri serta membahagiakan
orang tua Anda. Adakah hidup yang lebih bermakna dari hidup mulia seperti itu?
2. Mindset ke-2,
saya terlalu muda untuk serius memikirkan uang.
“Nanti saja” adalah bentuk penundaan
yang sangat berbahaya. Kita justru membuang waktu dengan memiliki mindset ini.
Ketika SD kita berharap dan berangan-angan, “Nanti kalau SMP akan belajar lebih
giat.” Ketika sudah SMP, ternyata biasa-biasa saja. “Mungkin nanti SMA.” Ketika
SMA juga sama, lalu berlanjut kuliah dan kita tetap berangan-angan, “Nanti
saja”. Kalau sudah bekerja, kalau sudah beristri, kalau sudah punya anak, dan
seterusnya sampai akhirnya ketika pensiun tiba Anda baru tersadar. Apalagi
ketika badan sudah mulai lemah dan sakit-sakitan. Yang tersisa hanya
penyesalan. Mengapa dulu tidak melakukan ini dan itu. Mengutip Mark Twain, “Twenty
years from now you will be more disappointed by the things you didn’t do than
by the ones you did do.”
Sekaranglah saatnya bagi Anda untuk
melakukan apa saja, termasuk dalam hal uang di usia muda. Sebagai ilustrasi,
jika Anda ingin pensiun dengan tabungan Rp 1 miliar di usia 55 tahun, maka Anda
hanya perlu menyisihkan Rp 750.000,- per bulan. Hasil itu bisa Anda dapatkan
kalau Anda mulai menabung di usia 25 tahun. Akan tetapi kalau Anda menunda baru
mulai menabung pada usia 40 tahun, maka Anda harus menyisihkan Rp 2,5 juta per bulan (asumsi suku bunga 14% per tahun). “Apakah saya terlambat?” Belum, kalau Anda
memulainya sekarang! Ya, sekarang!
3. Mindset ke-3,
jika punya uang lebih banyak, punya kesempatan lebih besar untuk menabung.
Tidak juga! Menabung tidak
bergantung pada berapa banyak uang Anda, tetapi pada tujuan Anda. Misalnya,
untuk pendidikan anak, menikah, membeli rumah atau mempersiapkan hal-hal lain
yang tidak terhindarkan di masa mendatang. Jika Anda menabung setelah penghasilan
Anda besar, saya khawatir simpanan Anda akan tetap kosong. Karena
kecenderungannya, semakin besar penghasilan Anda, semakin tinggi pengeluaran
Anda. Oleh karena itu, berapapun penghasilan Anda, berusahalah untuk
menyisihkannya. Caranya? Pay yourself first!
Ilustrasi berikut akan membantu
Anda:
Ada dua keluarga, keluarga A dan B,
masing-masing bekerja di tempat yang sama, memiliki jabatan dan penghasilan
yang sama. 20 tahun mendatang, ternyata keluarga A menjadi keluarga
kaya, dan sebaliknya keluarga B akan menjadi keluarga miskin. Apa
pasal? Keluarga A bisa menjadi kaya karena sejak awal menyimpan sebagian
penghasilan yang dimilikinya lebih dulu, baru membelanjakan sisanya. Jadi
secara ketat keluarga A mencukupkan dana yang sudah mereka alokasikan untuk
kebutuhan belanja setiap bulan. Keluarga B membelanjakan
penghasilannya terlebih dahulu, baru menabung sisanya. Apakah ada sisa?
Seringnya tentu tidak bersisa. Jika misalnya ada, lalu menaruhnya di bank,
apakah akan aman dari kebutuhan lainnya? Hasilnya, 20 tahun kemudian, keluarga
B miskin karena tidak memiliki tabungan, sementara keluarga A kaya karena
memiliki tabungan yang cukup besar.
4. Mindset ke-4,
mencari uang dengan bekerja (baca: menjadi pegawai)
Bekerja hanyalah salah satu cara
untuk mendapatkan uang. Akan tetapi, di sebagian masyarakat kita sekarang,
bekerja jenis ini sepertinya masih dianggap sebagai satu-satunya cara untuk
mencari uang. “Kerja dimana?” adalah pertanyaan standar setiap kita bertemu
kenalan. Ada teman saya yang kesulitan menjawab karena berprofesi sebagai
pemusik. Teman saya yang lain pernah ditolak melamar seorang gadis karena
setelah kuliah di universitas ternama hanya buka toko. Sekarang ini,
orang-orang yang menekuni bakatnya sebagai profesi justru mempunyai penghasilan
yang sangat besar, misalnya pemusik, olahragawan, pelaku industri kreatif,
pemberi jasa dan tenaga pemasar.
Status pekerja juga terasa hebat di
masyarakat. Sikap ini bagaikan penyakit. Saya punya tetangga yang bekerja
sebagai tenaga sukarela di Pemda sampai puluhan tahun dengan harapan bisa
diangkat menjadi pegawai negeri. Teman saya merasa hebat bekerja sebagai dosen
meskipun pendapatannya “pas-pasan”. Suatu kali dia pernah bertanya kepada
tukang sate yang mangkal dekat rumahnya dan betapa kaget dan malunya ketika
tahu rata-rata pendapatan tukang sate itu sekitar Rp 300.000,- per hari, bahkan
di akhir pekan bisa mencapai Rp 500.000,- Artinya, dia bisa punya penghasilan
sekitar Rp 10 jutaan per bulan.
Meskipun kita sekarang menyaksikan
mulai muncul pengusaha-pengusaha muda dengan omset miliaran rupiah per bulan,
jumlahnya masih sangat sedikit. Karena di pikiran anak muda sekarang adalah
sekolah kemudian mencari kerja, sehingga tidak heran jika angka pengangguran
terdidik terus membesar. Sebuah negara akan maju dan makmur kalau banyak anak
mudanya berprofesi sebagai pengusaha.
5. Mindset ke-5,
tidak perlu khawatir akan hari tua, anak saya pasti mau menanggung.
Setiap anak pasti ingin merawat atau
membahagiakan orang tuanya. Akan tetapi kenyataan membuktikan betapa susahnya
itu terjadi. Karena sudah punya keluarga sendiri, kesibukan sendiri dan masalah
sendiri, anakpun tanpa sadar menjadi kurang perhatian, kurang waktu, kurang
uang. Seharusnya kita sendirilah yang mempersiapkan diri untuk bisa tetap
mandiri sampai tua.
6. Mindset ke-6,
untuk kaya harus berpendidikan tinggi.
Kenyataan yang terjadi justru
sebaliknya. Survey di Amerika dan juga terjadi di beberapa negara lain di dunia
menyebutkan bahwa para pemilik perusahaan besar justru mereka yang sekolahnya
gagal. Kenapa? Mungkin karena merasa tidak pintar, mereka berusaha lebih keras,
atau karena mereka lebih dini masuk ke sekolah kehidupan. Hasil survey tersebut
menemukan bahwa para pengusaha sukses itu justr kebanyakan mereka yang
sekolahnya tidak pintar atau gagal. Sementara mereka yang sekolahnya pintar
menjadi karyawan di perusahaan tersebut, atau menjadi dosen dan
peneliti.
Coba Anda cari di Indonesia, siapa
konglomerat yang menguasai sebagian besar ekonomi nasional? Betul, mereka
adalah orang-orang yang tidak bersekolah tinggi. Sebut saja Liem Siu Liong, Eka
Tjipta, Mochtar Riady, pemilik Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, Orang Tua
Group, dan lain-lain.
7. Mindset ke-7,
untuk menghasilkan uang dibutuhkan modal berupa uang.
Sikap inilah yang menghambat banyak
orang untuk terjun ke dunia bisnis. “Tidak punya modal” menjadi momok bagi
mereka yang sudah merasa nyaman sebagai pekerja meskipun pada kenyatannya
sebagai pekerjapun mereka selalu merasa tidak nyaman karena terus kekurangan.
Untuk menghasilkan uang yang dibutuhkan adalah sebuah “ide” atau konsep. Kalau
untuk mencari uang Anda lebih dulu memikirkan modal besar baru ide, berarti
Anda telat! Selain itu, kalau modalnya ada, biasanya akan langsung habis. Tidak
sedikit anak yang bangkrut setelah dimodali orangtuanya.
8. Mindset ke-8,
utang adalah penyakit yang harus dihindari.
Adalah benar jika Anda menghindari
utang untuk tujuan konsumtif, tetapi jika Anda berutang untuk kebutuhan
produktif dengan pertimbangan yang matang, ketakutan Anda berutang adalah
ketakutan Anda untuk maju pesat.
Faktanya, semakin besar perusahaan
atau negara, semakin besar pula utangnya. Siapakah pengutang terbesar? Betul,
perusahaan-perusahaan raksasa! Negara pengutang terbesar adalah negara yang
sangat kuat ekonominya, yaitu Amerika dan Jepang. Jadi, beranilah berutang
secara cerdas dan bijak.
9. Mindset ke-9,
orang sukses hampir tidak pernah melakukan kesalahan
Orang sukses justru paling banyak
melakukan kesalahan, hanya mereka tidak melakukan kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya. Mengapa justru banyak melakukan kesalahan? Karena para pemenang
sejati selalu berfikir positif dan ingin meningkatkan target dan mencoba hal
baru. Kesalahan adalah cara belajar untuk meningkatkan capaian yang lebih
tinggi, lebih efektif, lebih efisien.
Apakah Anda tahu
jika Thomas Alfa Edison telah memiliki lebih dari 1000 hak cipta akan
penemuannya ? Penemu terbesar Amerika ini memiliki
pandangan hidup yang positif luar biasa yang meningkatkan kemampuannya sebagai
penemu. Bila orang lain mungkin telah berkecil hati dan putus asa setelah gagal
ribuan kali dalam percobaan untuk mengembangkan lampu listrik, Edison dengan
sederhana memandang setiap percobaan yang gagal sebagai penyisihan solusi yang
tidak berhasil, dengan demikian membawa dia jauh lebih dekat dengan solusi yang
sukses. Ketika itu sebuah surat kabar memberitakan di tajuk utamanya bahwa
Edison telah gagal 10.000 kali dan akhirnya menemukan lampu pijar. Edison
langsung mendatangi kantor berita tersebut dan meminta untuk mengganti headline surat
kabar itu. Keesokan harinya sebuah tajuk utama menuliskan, Edison menemukan
10.000 cara yang tidak dibutuhkan untuk menciptakan lampu pijar. Anda bisa
merasakan bedanya bukan?
10. Mindset ke-10, menabung
di bank adalah yang terbaik.
Dari sisi perencana keuangan, jumlah
uang dalam tabungan hanya disarankan untuk menutupi biaya hidup dan biaya emergency (idealnya
3-6 kali pengeluaran rutin bulanan), sisanya disarankan untuk diinvestasikan
dalam instrumen yang dapat memberikan imbal hasil lebih tinggi. Dengan cara
yang demikian, tingkat pertumbuhan aset akan semakin cepat dibandingkan seluruh
uang yang dimiliki di simpan dalam rekening tabungan. Apalagi jika
Anda ingin menabung dalam jangka waktu yang panjang.
Kenapa demikian? Dengan menabung di
bank, pada saat tertentu nilai uang Anda justru akan menurun. Anda memang
mendapatkan bunga, tetapi kecil sekali. Pernahkah Anda tanyakan ke bank berapa
bunga tabungan Anda? Dan jika dipotong biaya administrasi, pajak,
kemudian dihitung inflasi, sebenarnya nilai uang Anda susut sekitar 1-2% setiap
tahun. Bagaimana dengan deposito? Bunga deposito memang lebih tinggi sekitar
7-10%. Akan tetapi jika dihitung dalam jangka panjang, deposito juga bukan
pilihan terbaik.
Sebenarnya jika Anda ingin menabung
dalam jangka panjang, investasi adalah pilihan yang tepat. Hasilnya bisa sangat
besar. Meskipun demikian, selain memerlukan ilmu dan perhatian yang serius,
investasi juga mengandung risiko, meskipun dalam jangka panjang sangat
menguntungkan dan bisa dikelola. Jika tidak ingin repot, Anda dapat menyerahkan
pengelolaan tabungan Anda pada perusahaan yang professional, hasilnyapun akan
besar. Salah satunya, belilah polis asuransi karena lebih menguntungkan.
Kenapa? Baca di artikel saya berikutnya ya, Anda akan mengerti maksud saya.
(yap/adapted from Wira Arjuna’s
National bestseller and various sources/photo credit: google)